PERINGATAN HARI KARTINI
YAYASAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
MA AL-MUAYYAD III TEGOWANU
TAHUN 2016
Sejarah
Singkat Perjuangan RA. Kartini Semasa Hidupnya
RA. Kartini
lahir pada tanggal 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah. RA. Kartini dikenal
sebagai wanita yang mempelopori kesetaraan derajat antara wanita dan pria di
Indonesia. Hal ini dimulai ketika Kartini merasakan banyaknya diskriminasi yang
terjadi antara pria dan wanita pada masa itu, dimana beberapa perempuan sama
sekali tidak diperbolehkan mengenyam pendidikan. Kartini sendiri mengalami
kejadian ini ketika ia tidak diperbolehkan melanjutkan studinya ke jenjang yang
lebih tinggi. Kartini sering berkorespondensi dengan teman-temannya di luar
negeri, dan akhirnya surat-surat tersebut dikumpulkan oleh Abendanon dan
diterbitkan sebagai buku dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”
Biografi Singkat Kartini
Semasa hidupnya
dimulai dengan lahirnya Kartini di keluarga priyayi. Kartini yang memiliki nama
panjang Raden Adjeng Kartini ini ialah anak perempuan dari seorang patih yang
kemudian diangkat menjadi bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat.
Ibu dari Kartini memiliki nama M.A. Ngasirah, istri pertama dari Sosroningrat
yang bekerja sebagai guru agama di salah satu sekolah di Telukawur, Jepara.
Silsilah keluarga Kartini dari ayahnya, bisa dilacak terus hingga Sultan
Hamengkubuwono IV, dan garis keturunan Sosroningrat sendiri bisa terus
ditelusuri hingga pada masa Kerajaan Majapahit.
Ayah Kartini
sendiri awalnya hanyalah seorang wedana (sekarang pembantu Bupati) di Mayong.
Pada masa itu, pihak kolonial Belanda mewajibkan siapapun yang menjadi bupati
harus memiliki bangsawan sebagai istrinya, dan karena M.A. Ngasirah bukanlah
seorang bangsawan, ayahnya kemudian menikah lagi dengan Radeng Adjeng Moerjam,
wanita yang merupakan keturunan langsung dari Raja Madura. Pernikahan tersebut
juga langsung mengangkat kedudukan ayah Kartini menjadi bupati, menggantikan
ayah dari R.A. Moerjam, yaitu Tjitrowikromo.
Sejarah
Perjuangan ra Kartini berawal ketika ia yang berumur 12 tahun dilarang
melanjutkan studinya setelah sebelumnya bersekolah di Europese Lagere School
(ELS) dimana ia juga belajar bahasa Belanda. Larangan untuk Kartini mengejar
cita-cita bersekolahnya muncul dari orang yang paling dekat dengannya, yaitu
ayahnya sendiri. Ayahnya bersikeras Kartini harus tinggal di rumah karena
usianya sudah mencapai 12 tahun, berarti ia sudah bisa dipingit. Selama masa ia
tinggal di rumah, Kartini kecil mulai menulis surat-surat kepada teman
korespondensinya yang kebanyakan berasal dari Belanda, dimana ia kemudian
mengenal Rosa Abendanon yang sering mendukung apapun yang direncanakan Kartini.
Dari Abendanon jugalah Kartini kecil mulai sering membaca buku-buku dan koran
Eropa yang menyulut api baru di dalam hati Kartini, yaitu tentang bagaimana
wanita-wanita Eropa mampu berpikir sangat maju. Api tersebut menjadi semakin
besar karena ia melihat perempuan-perempuan Indonesia
ada pada strata sosial yang amat rendah.
Kartini juga mulai banyak
membaca De Locomotief, surat kabar dari Semarang yang ada di bawah asuhan
Pieter Brooshoof. Kartini juga mendapatkan leestrommel, sebuah paketan majalah
yang dikirimkan oleh toko buku kepada langganan mereka yang di dalamnya
terdapat majalah-majalah tentang kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Kartini kecil
sering juga mengirimkan beberapa tulisan yang kemudian ia kirimkan kepada salah
satu majalah wanita Belanda yang ia baca, yaitu De Hollandsche Lelie. Melalui
surat-surat yang ia kirimkan, terlihat jelas bahwa Kartini selalu membaca
segala hal dengan penuh perhatian sambil terkadang membuat catatan kecil, dan
tak jarang juga dalam suratnya Kartini menyebut judul sebuah karangan atau
hanya mengutip kalimat-kalimat yang pernah ia baca. Sebelum Kartini menginjak
umur 20 tahun, ia sudah membaca buku-buku seperti De Stille Kraacht milik Louis
Coperus, Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta yang ditulis Multatuli, hasil buah
pemikiran Van Eeden, roman-feminis yang dikarang oleh Nyonya Goekoop de-Jong
Van Beek, dan Die Waffen Nieder yang merupakan roman anti-perang tulisan Berta
Von Suttner. Semua buku-buku yang ia baca berbahasa Belanda.
Pada tanggal 12 November 1903,
Kartini dipaksa menikah dengan bupati Rembang oleh orangtuanya. Bupati yang
bernama K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat ini sebelumnya sudah
memiliki istri, namun ternyata suaminya sangat mengerti cita-cita Kartini dan
memperbolehkan Kartini membangun sebuah sekolah wanita. Selama pernikahannya,
Kartini hanya memiliki satu anak yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat.
Kartini kemudian menghembuskan nafas terakhirnya 4 hari setelah melahirkan anak
satu-satunya di usia 25 tahun.
Pemikiran dan
Surat-Surat Kartini
Wafatnya Kartini tidak
serta-merta mengakhiri perjuangan RA. Kartini semasa hidupnya karena salah satu
temannya di Belanda, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan surat-surat yang dulu
pernah dikirimkan oleh Kartini kepada teman-temannya di Eropa. Abendanon
kemudian membukukan seluruh surat itu dan diberi nama Door Duisternis tot Licht
yang jika diartikan secara harfiah berarti “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. Buku
ini diterbitkan pada tahun 1911, dan cetakan terakhir ditambahkan sebuah surat
“baru” dari Kartini.
Pemikiran-pemikiran Kartini
dalam surat-suratnya tidak pernah bisa dibaca oleh beberapa orang pribumi yang
tidak dapat berbahasa Belanda. Baru pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkan
versi translasi buku dari Abendanon yang diberi judul “Habis Gelap Terbitlah
Terang: Buah Pikiran” dengan bahasa Melayu. Pada tahun 1938, salah satu
sastrawan bernama Armijn Pane yang masuk dalam golongan Pujangga Baru
menerbitkan versi translasinya sendiri dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Versi milik Pane membagi buku ini dalam lima bab untuk menunjukkan cara
berpikir Kartini yang terus berubah. Beberapa translasi dalam bahasa lain juga
mulai muncul, dan semua ini dilakukan agar tidak ada yang melupakan sejarah
perjuangan RA. Kartini semasa hidupnya itu.
Dan inilah para Kartini MA Al-Muayyad III Tegowanu, yang siap mempertahankan budaya leluhur!!! EMANSIPASI WANITA AKAN SELALU TETAP TERJAGA!!!!
KARTINI DAY, 21 APRIL 2016